Hal ini menggambarkan bahwa permasalahan tenaga honorer (termasuk guru) sudah sejak lama menjadi permasalahan nasional, dan menjadi beban “politik” pemerintah, baik pemerintahan sebelumnya maupun pemerintahan era Presiden Joko Widodo. Berdasarkn ketentuan peraturan perundang- undangan bahwa keberadaan tenaga honorer guru, termasuk honorer lainnya masih dimungkinkan sampai dengan akhir Nopember 2023. Artinya Pemerintah mempunyai kesempatan paling lama 3 tahun untuk menyelesaikan tenaga honorer guru dimaksud. Namun sangat disayangkan, pengadaan 1 juta guru PPPK tersebut belum termasuk kebutuhan guru agama pada sekolah-sekolah di lingkup Kementerian Agama dan kebutuhan guru agama yang ada di sekolah-sekolah negeri di Pemerintah Daerah yang kewenangannya ada di Gubernur, Bupati dan Walikota.
Materi
atau substansi seleksi pengadaan guru PPPK, berbeda dengan seleksi guru CPNS,
yaitu seleksi administrasi, seleksi kompetensi (sosio kultural, manajerial, dan
teknis). Terhadap pesesrta seleksi yang dinyatakan lulus tes kompetensi,
selanjutnya diikutkan tes wawancara menggunakan CAT (untuk mengetahui moralitas
dan integritas dari calon peserta). Hasil tes wawancara tersebut, dapat
berpengaruh dalam penentuan kelulusan akhir, meskipun peserta seleksi sudah
dinyatakan lulus administrasi dan lulus seleksi kompetensi. Materi seleksi yang
demikian, tentu saja belum “familier” bagi tenaga honorer sehingga menjadi
permasalahan tersendiri, dan berujung tidak berhasilnya mereka memenuhi passing
grade/tidak lulus.
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan
informasi dan laporan yang sering disampaikan oleh sebagian besar pengelola
kepegawaian dan pendidikan di daerah bahwa terjadinya kekurangan guru dalam
jumlah yang besar itu, antara lain disebabkan oleh :
- Perpindahan guru yang tidak terkendali, dengan kata lain terjadi “mismanageable” pengelolaan guru. Terjadinya pengelolaan guru yang demikian, sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah adanya “invisible-hand”. Faktor ini sangat dominan mempengaruhi bahkan sampai “menekan” para Gubernur, Bupati/Walikota sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan ASN dalam posisi yang “dilematis” untuk tidak mengabulkan bila ada usulan perpindahan guru dari sekolah- sekolah yang ada di daerah terpencil, terluar dan tertinggal ke sekolah-sekolah yang ada di perkotaan;
- Masalah “kesejahteraan” antara guru yang mengajar di perkotaan dan yang mengajar di daerah terpencil, terluar, dan tertinggal;
- Sebagian besar guru PNS adalah kaum wanita, yang tidak jarang pula sebagai isteri/anggota keluarga dari TNI/Polri dan pejabat/pegawai pemerintah lain;
- Adanya kebijakan pemekaran wilayah Kabupaten, yang berimplikasi harus dibangun sekolah- sekolah baru, yang kerap tidak diikuti dengan perencanaan kebutuhan/pengadaan tenaga gurunya.
- Adanya pengangkatan guru PNS ke dalam jabatan struktural yang kompetensinya tidak bersesuaian dengan jabatan yang diduduki;
- Adanya perbantuan/penugasan guru PNS pada sekolah-sekolah swasta;
- Formasi yang ditetapkan setiap tahun oleh Pemerintah tidak berbanding lurus dengan kebutuhan sekolah yang diusulkan oleh PPK Daerah.
Sebagai ilustrasi, penyebab terjadinya kekurangan guru adalah distribusi/perpindahan guru PNS yang tidak terkendali yang berakibat di satu sisi terjadinya kelebihan guru di sekolah-sekolah yang ada di perkotaaan, di sisi lain terjadi kekurangan guru di sekolah-sekolah yang ada di daerah terpencil, tertinggal, dan terluar. Disamping itu, yang cukup berpengaruh karena faktor guru yang sebagian besar kaum wanita, yang tidak bisa tidak mengajukan pindah mengajar dengan alasan mengikuti penugasan suami, mengurus orang tua yang sedang menderita sakit, dan aneka ragam alasan lain. Menghadapi usulan pindah seperti ini, PPK berada dalam posisi yang “dilematis” dalam mengambil keputusan untuk mengabulkan atau tidak mengabulkan. Namun, sudah bukan rahasia umum lagi bahwa keputusan yang diambil oleh sebagian besar PPK adalah “terpaksa” menyetujui karena faktor “invisible-hand” yang sampai saat ini masih saja berlanjut. Disamping itu, masalah kesejahteraan menjadi faktor pandorong lain banyaknya guru PNS mengusulkan pindah ke sekolah- sekolah yang ada di perkotaan. Sudah bukan rahasia umum bahwa guru yang mengajar di perkotaan, mempunyai kesempatan nyambi memberikan “les privat” yang tentu saja ada penghasilan tambahan dalam bentuk “rupiah”. Sedangkan bila mengajar di daerah terpencil, tertinggal, terluar, peluang untuk dapat memberikan “les privat” sangat kecil. Andaipun peluang itu ada, biasanya yang mereka terima bukan dalam bentuk “rupiah” melainkan dalalm bentuk yang lain seperti ubi, singkong, pisang, ayam dan lain sebagainya.
Jalan
pintas yang dilakukan oleh sebagian besar PPK Daerah dalam mengatasi kekurangan
guru yaitu melakukan pengangkatan kembali tenaga honorer guru baru, yang secara
teknis dilakukan oleh Kepala Dinas Dikbud, dan kerap pula dilakukan hanya oleh
Kepala Sekolah tanpa sepengetahun PPK yang bersangkutan. Yang lebih memprihatin
bahwa proses rekrutnya-pun tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh peraturan
perundang-undangan, seperti yang direkrut belum berijazah S.1. Dengan kata
lain, pengangkatan guru honorer baru di satu sisi dapat “dipahami” agar proses
belajar mengajar dapat berlangsung, di sisi lain PPK melakukan “pembiaran”
terhadap guru- guru yang menumpuk di sekolah-sekolah di perkotaan dam berakibat
in-efisiensi terhadap APBD. Demikian juga dengan praktek pengangkatan guru PNS
menjadi pejabat struktural dan penugasan/perbantuan guru PNS ke sekolah-sekolah
swasta sampai saat ini masih saja berlangsung.
Dalam
konteks pengadaan 1 juta guru PPPK, berdasarkan data di Kementerian PANRB,
terdapat 1 Provinsi dan 21 Kabupaten/Kota yang belum merespon kebijakan
dimaksud, dengan alasan ketidaksiapan APBD dalam hal gaji dan tunjangan guru
PPPK. Pemerintah Daerah tersebut mengharapkan keseluruhan biaya pengadaan guru
PPPK bersumber dari APBN. Permintaan ini secara peraturan perundangan tidak
dimungkinkan. Berdasarkan pemetaan Kementerian Dikbud pada Pada
Pemerintah-pemerintah Daerah tersebut masih terdapat kekurangan guru, yang
selama ini diampu oleh para honorer guru yang telah mengajar dalam waktu yang
relatif lama, serta memenuhi syarat untuk dapat diikutkan seleksi dalam program
pengadaan 1 juta guru PPPK. Hal ini berpotensi menimbulkan permasalahan bagi
Pemerintah Daerah yang bersangkutan, dan tidak tertutup kemungkinan
permasalahannya berimbas/bergulir ke Kementerian PANRB dan Kementerian Dikbud.
Analisis/Solusi
atas Permasalahan
Kebijakan
Pemerintah melaksanakan pengadaan 1 juta guru PPPK patut diberikan apresiasi
oleh kita semua selaku insan yang menginginkan terwujudnya hasil pendidikan
yang berkualitas, yang kedepannya diharapkan mampu berdaya saing secara
nasional, regional bahkan internasional. Demikian pula halnya dengan kebijakan
pemberian 3 kali kesempatan mengikuti seleksi bagi tenaga honorer guru dan
rencana adanya “pembekalan” sebelum seleksi patut pula diberikan penghargaan.
Berbagai
permasalahan yang ada sebagaimana dijelaskan di atas, diharapkan sudah
ditemu-kenali dan sudah ada design/rancangan pemecahan permasalahannya oleh
Pemerintah agar di satu sisi membangun SDM (guru) yang unggul sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang ASN dapat diwujudkan. Disisi lain, penyelesaian
terhadap tenaga honorer (guru) yang sudah mengajar dalam kurun waktu relatif
lama, yang selama ini statusnya tidak jelas dapat terselesaikan agar tidak
berkepanjangan menjadi beban “politik” Pemerintah. Oleh karena itu, perlu
dipertimbangkan berbagai alternatif kebijakan afirmasi terhadap tenaga honorer
guru yang mengikuti seleksi. Apabila kriteria penentuan kelulusan murni sesuai
dengan passing grade seperti halnya diberlakukan untuk pelamar umum, ditengarai
tingkat kelulusannya tidak banyak/maksimal, tentu berdampak secara sosiologis
dan psikologis bagi para tenaga honorer guru itu sendiri. Dalam kesempatan ini,
penulis ingin menyampaikan saran pemikiran/solusi agar tingkat kelulusan tenaga
honorer guru dapat lebih optimal, dan selanjutnya perlu “maintain” agar supaya
”manajemen” guru PPPK dapat dijalankan/ditegakkan, dengan cara :
- Diberikan afirmasi dalam penetapan kriteria kelulusan terhadap guru honorer, seperti memperhitungkan masa kerja sebagaimana diminta oleh forum-forum guru honorer (Kompas, 12 Maret 2021), bahkan lebih dari itu perlunya diberikan afirmasi tambahan bagi guru honorer yang mempunyai sertifikasi, terlebih lagi bagi guru honorer kategori disabilitas yang juga mempunyai sertifikasi. Apabila tidak diberikan afirmasi, dikhawatirkan para honorer guru tersebut tidak bisa memenuhi passing grade dan dinyatakan tidak lulus. Mengingat sebagian besar dari mereka dapat saja tidak optimal dalam mengapdate pengetahuan/ kompetensinya, menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini, apalagi honorer guru yang telah lama mengajar di daerah terpencil, terluar dan tertinggal;
- Terhadap PPPK yang belum merespon, agar didorong atau “dipaksa” mengusulkan formasi dalam pengadaan guru PPPK tahun 2022. Dalam hal ketidak-tersediaan anggaran untuk pemberian “tunjangan” guru PPPK, sebenarnya dapat dilakukan dengan mengefisienkan pengeluaran anggaran “rutin” dengan cara mengurangi besaran Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) yang sudah diberikan kepada para pejabat dan semua PNS yang ada. Cara yang lain mengurangi anggaran biaya perjalanan dinas dengan melakukan pembatasan jumlah personil yang akan melakukan perjalanan dinas baik ke Instansi Pusat maupun ke Instansi Daerah lain, apalagi kegiatannya “hanya” sebatas studi banding, konsultasi, dan lain sebagainya yang sebenarnya bisa diperoleh dengan cara tele-conference.
- Ditetapkan regulasi yang mengatur larangan perpindahan guru PPPK dari satu sekolah ke sekolah lain, dan terhadap PPK yang masih menyetujui perpindahan guru PPPK dengan alasan apapun diberikan sangsi yang tegas. Pentingnya penetapan regulasi ini agar tidak terulang lagi perpindahan guru dari sekolah-sekolah di daerah terpencil, terluar, tertinggal ke sekolah- sekolah yang ada di perkotaan sebagaimana terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Diharapkan dengan regulasi tersebut menjadi dasar atau dapat membentengi PPK Daerah untuk tidak mengabulkan permohonan pindah meskipun dipengaruhi/ditekan oleh faktor invisible-hand. Bentuk regulasi, cukup dengan SKB Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri PANRB, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri, bila memungkinkan diatur dalam peraturan yang lebih tinggi (Peraturan Pemerintah);
- PPK Daerah diminta menetapkan kebijakan lokal dalam bentuk pemberian insentif tambahan (tunjangan kemahalan) terhadap guru PPPK yang mengajar di daerah terpencil, terluar, dan mengajar secara penuh di daerah terpencil, terluar, dan tertinggal;
- Khusus permasalahan belum terakomodirnya kebutuhan guru agama, baik kebutuhan di sekolah-sekolah negeri di lingkungan Pemerintah Daerah maupun di lingkungan Kementerian Agama sendiri, dari sisi waktu masih dimungkinkan, dengan catatan Kementerian Agama mampu memetakan kebutuhan per sekolah dan memetakan guru honorer. Apabila tidak bisa dimasukkan dalam gerbong pengadaan 1 juta guru PPPK, Kementerian Agama segera merencanakannya secara komprehansif untuk pengadaan tahun 2022. Perencanaan tersebut, selanjutnya dibahas bersama dengan Menteri Keuangan, Menteri PAN-RB, Menteri Dikbud dan BKN.
Agar
supaya program pengadaan 1 juta guru PPPK ini dapat dilaksanakan dengan lancar,
diperlukan komitmen dari semua elemen masyarakat sehingga tujuan dan sasaran
yang ingin dicapai Pemerintah dapat diwujudkan, melalui :
- Para Gubernur, Bupati dan Walikota mengalokasikan anggaran dalam APBD untuk pemberian “tunjangan” guru PPPK, anggaran pelaksanaan seleksi, dan biaya pendukung lainnya;
- Para tenaga honorer guru segera mempersiapkan diri sedini mungkin dengan cara mencari berbagai referensi agar dapat memenuhi nilai ambang batas “passing grade” untuk dapat dinyatakan lulus seleksi;
- Wakil rakyat, baik DPR RI/DPRD, DPD RI, PGRI dan semua organisasi profesi lain yang bergerak di bidang Pendidikan, serta forum-forum tenaga honorer guru yang ada di setiap Provinsi bahkan ada di setiap Kabupaten/Kota juga secara maksimal mendukung program pengadaan 1 juta guru PPPK.
Penutup
Kebijakan
Pemerintah melaksanakan mengadakan 1 juta guru PPPK merupakan kebijakan
strategis, mulia dan momentumnya juga sangat tepat dalam rangka menyelesaikan
permasalahan kekurangan guru dan sekaligus secara bertahap menyelesaikan
permasalahan guru honorer yang sudah mengajar dalam waktu relatif lama, yang
menurut data Kem.Dikbud saat ini jumlahnya mencapai 700 ribuan. Oleh karenanya,
dan dalam konteks membangun Sumber Daya Manusia (guru) yang unggul, yang
menjadi salah satu prioritas Pemerintahan Presiden Jokowi periode II, sebaiknya
keinginan beberapa pihak yang mendorong dilakukannya revisi ,UU 5/2014 dengan
memasukkan klausul “tenaga honorer, tenaga harian lepas, dan tenaga dengan
sebutan lainnya untuk diangkat secara langsung menjadi CPNS tanpa seleksi”
perlu dipertimbangkan lagi, atau diputuskan tidak perlu dilanjutkan.
Diharapkan, setelah melalui berbagai tahapan seleksi sebagaimana strategi yang diusulkan di atas disetui oleh Pemerintah, semata-mata dimaksudkan para tenaga honorer guru yang nantinya ikut seleksi dapat dinyatakan lulus dalam jumlahnya yang banyak/signifikan. Dengan diangkatnya guru honorer menjadi guru PPPK, status mereka yang selama ini “terkatung katung” menjadi jelas, termasuk kejelasan terkait dengan hak, kewajiban dan karier kedepan sebagai bagian dari Aparatur Sipil Negara. Sekedar menengok ke belakang bahwa sudah sangat sering para tenaga honorer (guru) berdemonstrasi menuntut untuk diangkat secara langsung sebagai CPNS di depan Istana Presiden, di Kementerian PANRB, BKN dan Instansi Pemerintah lain, dipastikan menguras energi dari para tenaga honorer guru itu sendiri. Guru merupakan insan yang terpelajar, terhormat, dan berstatus sebagai “pendidik”, semestinya berada di depan kelas, malah berdemonstrasi dan berteriak-teriak di jalanan yang tidak jarang menampilkan spanduk yang pesannya “kurang pantas”, merupakan pemandangan yang sungguh sangat menyedihkan, mengenaskan, menyayat hati, dan sekaligus sangat “memalukan”. Insyaallah dengan kebijakan pengadaan 1 juta guru PPPK, permasalahan yang mendasar yakni kekurangan guru dan permasalahan tenaga honorer (guru) dapat diselesaikan……“sekali mendayung dua, tiga pulau terlampaui”. Bravo pemerintah… bravo tenaga honorer (guru),…bravo anak bangsa.
(Arizal,
Analis kebijakan Utama pada Kedeputian SDM Aparatur Menpan)
Sumber:https://www.kemdikbud.go.id/
0 Comments